Selasa, 18 September 2012

Awal Perjalanan

03 september 2012, pukul 5 sore

Hari Senin yang cukup padat di Jakarta, kami memutuskan berkumpul di Halte Busway Terminal Kalideres. Ideku untuk kita berkumpul lebih awal karena mengingat hari kerja yang biasanya macet. Aku sangat tidak ingin ketinggalan kereta. 

Yang tiba pertama di meeting point kami adalah Kacunk. Dia sudah terlebih dulu masuk ke area halte dan menunggu didalam karena bawaannya lumayan banyak. Dialah yang bertanggung jawab akan perbekalan air dan makanan untuk kami nanti di perjalanan. Dia juga sang leader yang siap untuk membawa kami berpetualang dan direpoti oleh kami nantinya heheheheee. Aku akhirnya diantar oleh Bapak sampai belakang terminal dan saat ku celingukan mencari yang lain, aku lihat temanku Ati turun dari angkot dengan gerembolan bawaannya yang ga begitu banyak. Kami masuk bersama dan ternyata dia benar naik angkot, tega sekali orang rumahnya tidak ada yang mengantar kepergiaannya untuk 5 hari kedepan ke kota nun jauh disana. 

Hanya menunggu satu lagi anggota kami, Kunpi. Sesuai julukan kami kepadanya, Kunpi adalah plesetan dari pikun. Jarak rumahnya yang terjauh diantara kami, melewati beratus polisi tidur, beribu gang dan bermiilyar kerikil. Tapi tetep saja dia yang belum memiliki kesadaran diri untuk berangkat lebih awal. Setengah jam hampir berlalu, aku dan Ati yang menunggu diluar akhirnya masuk karena pundak kami sakit menahan tas ransel kami yang segede gaban. Kami bergabung bersama Kacunk. Aku sudah menebak kalau si Kunpi teman kami telat karena dianu oleh pacarnya.. Lhooo?? maksudku diantar oleh pacarnya naik motornya dengan kecepatan 20 km/jam supaya menikmati perjalanan lebih lama hehehehheee..

Setengah jam tepat Kunpi akhirnya tiba dengan sumringah, tapi terlihat lucu karena badannya yang sedang menggotong gotong ransel milik abangnya yang paling besar ukurannya diantara ransel –ransel kami. Tanpa menunggunya menghela nafas, kami langsung bergegas mengantri. Karena sedari tadi banyak sekali armada Busway yang mengarah ke Pulogadung. Kami takut kehabisan bus di terminal karena sekarang berbarengan dengan jam pulang kerja yang otomatis semua armada bus keluar. Cukup lama kami mengantri tidak terasa lagi karena diselingi canda tawa yang selalu bikin heppi. Armada bus bewarna abu-abu pun datang, kami langsung berebut masuk duduk di area khusus wanita. Aku pertama duduk, Kunpi disebelahku dan Ati desebelahnya lagi. Sedang si Kacunk terpisah di depan barisan kursi kami. 

Bus melaju cukup santai, kami pun melanjutkan obrolan kecil. Tiba tiba goody bag Kacunk yang diletakkan di samping kakinya terjatuh, aku mentertawinya karena makanan dan minuman dalam tas tersebut sedikit terlihat. Aku suruh dia untuk jangan nglamun dan pegangi tasnya. Tapi dasar sial, goody bag milikku juga terjatuh dengan cara yang lebih lucu. Pisang sunrise yang kubawa keluar dan menggelinding mengajak kejar-kejaran dengan aqua gelas yang juga ikut menggelinding. Malu sekali tapi tetap aku berteriak pada Kacunk, makanya dipegangin cunk… heheheeee

Disetiap pemberhentian bus, masuk penumpang yang sedikit demi sedikit membuat penuh sesak busway yang kami tumpangi. Dan entah di Halte mana bus menjadi benar-benar sesak dan Kacunk yang duduk tidak satu barisan dengan kami tertutup oleh pinggul-pinggul penumpang yang berdiri berjejalan. Dia lepas dari pandangan kami bertiga, entah apa yang dilakukannya disepanjang perjalanan. Karena aku dan Kunpi cukup asyik mengobrol kelengkapan yang kami bawa. Sementara Ati, dia tertidur karena rupanya dia tidak sempat tidur siangnya. 

Satu jam lebih perjalanan, bus pun berhenti di Halte Senen dan kami bersiap turun. Kami tidak langsung keluar dari halte karena rupanya Ati sedang pusing, sekedar mengingatkan dia ini paling tidak kuat dengan bus. Hanya dengan naik bus sebentar mampu membuatnya pusing dan mual-mual. Jadi siapa yang harus bertanggung jawab ??? Kami mengajak Ati beristirahat sejenak di kursi besi yang umum ada dalam tiap halte busway. Namun saat itu kondisi halte sedang penuh sesak oleh antrian penumpang jadi kami tidak bisa berdiri bergerombol. Aku berdiri paling jauh dari kursi dengan dibelakangi pula oleh ransel Kacunk. Aku mengalah karena memang untuk duduk saja, kulihat tubuh Ati harus miring 60 derajat sehingga sangat mungkin membuatnya bertambah pusing. Tapi yang kami sesalkan adalah sikap petugas busway berompi orange yang berkata “jangan dijalan mbak”. Geram sekali aku karena jelas-jelas kami tidak menutupi jalan, mereka yang salah meletakkan kursi besi itu di area jalan halte!!! Kami pun memutuskan turun dari halte dan menuju stasiun. Sekarang aku menyadari siapa yang harus bertanggung jawab atas pusing-pusingnya Ati, tidak lain dialah si petugas busway sok tau itu…

Dari halte busway menuju stasiun Pasar Senen kurang dari 1 km mungkin,  karena kami ga sempet ngukur - ngukurnya. Kami berjalan kaki dari situ dan sampailah di stasiun. Kala itu waktu baru menunjukkan pukul 7 malam. Loket tempat masuk untuk kereta kami belum dibuka karena keretanya pun belum tiba. Jadilah kami mencari emperan kosong untuk duduk, sangat disayangkan memang fasilitas tempat duduk untuk calon penumpang kereta ekonomi tidak memadai. Setelah sempat mondar – mandir ke toilet karena jujur aku grogi naik kereta api untuk pertama kalinya dalam perjalanan jauh dan tidak beserta keluarga hanya dengan perbekalan uang secukupnya disertai kondisi kesahatanku saat itu belum siap ( aku terserang pilek satu hari menjelang berangkat ), jadi obat anti masuk angin saat itu dirasakan sangat besar jasa – jasanya bagiku dan teman – teman.

Pukul 08.00 malam, loket masuk dibuka, dan pada saat itu bersamaan dengan dibukanya loket antrian untuk tujuan Solo. Jadi loket masuk kami melalui pemeriksaan meja security sebelah kiri sedangkan untuk tujuan Solo berada di sebelah kanan. Sedangkan untuk pintu masuknya, antrian tujuan Solo maupun tujuan Jogjakarta adalah melalui pintu yang sama. Bayangkan begitu berdesak-desakannya para calon penumpang kedua kereta yang berbeda tujuan saat itu. Aku mengantri paling depan diikuti Kacunk, Ati lalu Kunpi. Sangat mengecewakan pengaturan antrian yang tidak jelas komando dari petugas yang berjaga. Karena semua penumpang menjadi tidak sabar sehingga terjadi dorong mendorong dan saling berebut ingin masuk duluan. Melihat keadaan yang semakin panas sesak, aku memutuskan membagi tiket pada masing – masing temanku agar pemeriksaaan lebih tepat tanpa ada kesalahan orang. Seorang ibu disampingku yang tingginya hanya sebahuku terjepit saat ingin masuk, namun banyak petugas yang tidak mampu memberi jalan lebih layak untuk kami calon penumpang lewat. Akhirnya dengan susah payah kami berempat berhasil masuk dan mengambil posisi duduk menunggu di peron. 

K3 gerbong 1, 9A, 9B, 9C dan 9D nomor urutan tempat duduk kami. Agak kecewa karena teman kami, Kacunk duduk terpisah di kursi untuk dua orang sebelah kami. Ada cerita dibalik urutan tempat duduk kami yang gagal untuk berhadapan. 

08 Agustus 2012

Aku, Kacunk dan Kunpi sepakat bertemu di Halte Busway terminal Kalideres untuk menuju stasiun Pasar Senen. Ati tidak bisa ikut karena dia kerja. Hehehee sebenarnya itu ideku juga mendoktrinnya untuk kerja sebulan saja sebagai tambahan penghasilan untuk ongkos ke Jogja. Tapi malah aku tidak jadi kerja dengan alasan tidak mendapat restu dari Bapak yang mengatakan “Memang kamu ga mau pulang kampung lebaran nanti?” 

Aku yang datang pertama dan langsung masuk menunggu di dalam halte. Begitu Kacunk dan Kunpi tiba, kami langsung mengantri untuk tujuan Pulogadung. Antrian lumayan panjang dan buswaynya seperti biasa selalu lama. Kami buru-buru masuk begitu bus berwarna abu – abu itu tiba. Namun kami tidak kebagian tempet duduk. Alhasil, ideku untuk kami bisa duduk di tangga pintu depan busway. Tak apalah kami ngedeprok, asal tidak berdiri capek. Karena kami sedang berpuasa. Bus tiba di halte Senen, kami turun dan cobaan pertama saat itu adalah di tengah hari tepat kami harus berjalan kaki lumayan jauh dari halte menuju stasiun Pasar Senen. Dan kala itu, matahari sedang terik – teriknya. Mungkin sang mentari sedang berbahagia diatas sana dengan memancarkan sinarnya begitu menyengat.

Wow, begitu ramai kondisi loket saat itu. Kami sedikit kebingungan setelah kami memutari loket penjualan tiket, kami pun memutuskan saling berpegangan tangan. Setelah kebingungan mereda, kegalauan melanda. Rencana awal yang sudah mantap untuk membeli tiket kereta ekonomi untuk berangkatnya menjadi goyah. Setelah Kunpi menceritakan, ayahandanya menakut – nakuti bahaya yang mungkin tertimpa Kunpi yang juga mabokan. Perdebatan sengit antara kami berlanjut. Akhirnya aku mengajak untuk melaksanakan shalat Dzuhur terlebih dulu sebelum memutuskan membeli tiket apa. Alhamdulillah, selepas shalat itu Kacunk seperti mendapat ilham dari yang Maha Kuasa. Ia berseru “Sudahlah, ekonomi saja seperti rencana awal”. hehehehee hiduuup kacuuuunk. Namun, cobaan kedua muncul setelah kami melewati deretan penjual makanan yang berjajal di samping jalan menuju loket pemesana tiket. Yang paling menggoda imanku kala itu adalah beberapa butir Kelapa hijau yang tergantung di depan mata seolah berkata “Buka aku, rasakan segarnya!!” Alamak, ternyata bukan hanya aku saja yang sempat tergoda, Kunpi dan Kacunk pun dari dalam perutnya terdengar jeritan pedih cacing – cacing penuunggu perut mereka.

Kegalauan tidak berhenti disitu, setelah mencari informasi pemesana tiket. Ada rumor yang memberitakan harus menyertai fotokopi KTP untuk masing – masing nama yang ingin memesan tiket. Kami hanya bertiga minus Ati, jadi kemungkinan jika hal itu benar hanya Ati yang tidak bisa mendapat tiket dengan duduk berurutan. Disinilah cobaan ketiga muncul, terutama menerpa sang leader Kacunk. Dia yang bertanggung jawab dan paling berpengalaman dalam hal pemesanan tiket menjadi putus asa. Aku melihat matanya menahan emosi yang mendidih. Kami duduk ngedeprok di dalam loket yang bersekat dan ruanggan itu berAC. Supaya Kacunk tidak batal puasa pikirku saat itu. Karena jika ia batal, kami pun harus batal bersamanya pula. Sekian lama termenung dengan pikiran masing – masing kami bergejolak dengan es kelapa muda, soto ayam, bakso dan ketoprak. Kami berniat menguatkan diri dan kembali ke jalan yang benar. Tanpa menyertakan fotokopi KTP, hanya nomor KTPnya saja kami nekad menuju loket pemesanan tiket KA ekonomi. Ternyata rumor itu tidak sepenuhnya benar. Bisa saja kami memesan hanya dengan menuliskan nomor KTP. Tapi karena pikiran kami sudah emosi, kami lupa untuk mengatakan posisi duduk kami yang ingin berhadapan. Jadilah terlanjur tercetak urutan 9A, 9B, 9C dan 9D yang ternyata sebanjar.

*** Kembali ke atas Gerbong kereta

Karena yang duduk berhadapan dengan kami adalah sepasang kakek nenek yang kurang suka begitu kami meminta tolong untuk menyisakan satu tempat duduk untuk Kacunk. Ya sudah jadilah dia kembali terasing seperti waktu di busway. Perutku sangat perih karena memang seharian aku belum makan nasi. Aku membuka bekalku dan mengajak semua makan. Aku bangga saat itu, temanku ikut makan masakanku mie telor, walau sedikit keasinan. Hanya Kacunk yang tidak ikut makan, sebab ia membawa bekal sendiri. Umumnya orang Indonesia yang memiliki prinsip sudah makan tidur, akupun demikian. Baru saja akan memejamkan mata, Kacunk mangajakku ke sambungan gerbong yang menurut pengalamannya disana enak terkena angin sepoi – sepoi. Aku memang penasaran ingin kesana. Rupanya Kacunk ingin makan bekalnya di sambungan gerbong. Tapi sayangnya pintu kereta tidak dibuka, jadilah aku dan Kacunk ngedeprok di depan pintu gerbong itu. Saat menunggu Kacunk mengambil bekalnya, aku menyadari ternyata yang kami duduki persis di depan pintu toilet. Lantas saja aku agak miris melihat Kacunk akan makan disana. Tapi salut untuk temanku yang satu itu, dia sangat cuek dan tidak peduli dengan kondisi itu. Yang ada di pikirannya saat itu mungkin bagaimana bisa melahap semua makanan sehingga tidak ada sisa, ia cenderung malas membawa – bawa makanan sisa. 

Baru saja akan menyantap pulukan pertama nasinya, kereta berhenti di stasiun Karawang. Ada orang yang mau turun ternyata. Kami pun terusir dari tempat ngedeprok kami. Lalu muncullah pak Kondektur yang mempersilahkan kami untuk makan di gerbong depan. Gerbong ini lebih sepi, nyaman dan berAC pula. Gerbong ini adalah rangkaian dua gerbong ekonomi AC dan menyatu dengan gerbong makan.  Aku yang sudah makan bekal milikku, tergoda lagi ikut makan bekalnya Kacunk. Kami melahap habis telor dadar super pedas itu berdua. Selesai makan, aku enggan kembali ke gerbongku. Sudah pewe heheee. Saat itulah muncul pak kondektur meminta izin duduk di sebelah Kacunk untuk merokok. Awalnya aku agak keberatan karena aku dan Kacunk baru saja membahas orang disamping kami yang seenaknya merokok di gerbong AC padahal tertera tulisan no smoking. Tapi ya sudahlah, toh semua jendela gerbong ini sudah terbuka dan hawa AC kalah dengan dinginnya angin malam yang merasuk.

Tak disangka dan tak dirasa, pak kondektur tersebut orang yang asyik diajak mengobrol. Banyak hal yang kami bicarakan dari masalah umum, politik, keamanan maupun manajemen hahahaaa. Bapak yang satu ini masih berjiwa muda. Pak Suardi, begitu yang tertulis di kemeja putihnya. Ia sangat terbuka saat aku banyak bertanya mengenai sistem perkeretaapian saat ini. Bahkan beliau memperlihatkan sistem penjadwalan kereta yang kami tumpangi saat itu. Banyak ilmu yang kami ambil dari beliau. Perdebatan dan tawa pun terkadang menyelingi pembicaraan kami bertiga. Yaitu saat Kacunk mengadu pada pak Suardi, bahwa aku pernah melihat kereta dengan lokomotif yang saling membelakangi. Pak Suardi tertawa lepas sambil berkata bahwa itu tidak benar, nanti keretanya tarik – tarikan. Itu memang benar, tapi aku sumpah pernah melihat kereta seperti itu. Lalu,pak Suardi menceritakan keluarganya. Terlihat jelas dari sorotan matanya kalau beliau sedang rindu pada anaknya. Karena ia menceritakannya dengan penuh semngat berapi - api. Sampai ia bersedia menunjukkan isi pesan singkat anaknya kepada aku dan Kacunk. Bukannya terharu dengan sms tersebut, kami malah tertawa lantang. Bukan karena isi smsnya yang lucu atau ada gambar emot icon berwarna kuning yang menggemaskan itu. Tapi karena font size yang tercetak di layar hape pak Suardi besar - besar dan tebal. Ini pertama kalinya bagiku melihat handphone dengan tulisan segede gabam itu. Handphone Nokia jadul yang aneh, pikir kami sekenanya. Hahahaaa

Entah saat itu pukul berapa yang jelas hari semakin larut, tapi justru kantukku hilang dengan pembicaraan seru dengan sang kondektur KA. Begitu baiknya beliau sampai mentraktir kami kopi susu ABC. Beliau tidak mengizinkan kami membayar karena harga kopi yang seharusnya Rp 3.000 akan menjadi Rp 2.000 saja jika ia yang membelinya. Good job pak, hehehee

Belum selesai kami menyeruput kopi panas, kereta sudah memasuki stasiun Cirebon dan berhenti cukup lama. Pak Suardi pamit hendak memeriksa tiket penumpang yang kemungkinan baru naik di stasiun tersebut. Aku dan Kacunk memutuskan kembali ke gerbong kami karena Ati sedari tadi telah mengirimkan pesan singkat kepadaku bahwa dia mencari kami. Aku mengajak Ati dan Kunpi turun sejenak untuk meregangkan badan. Aku bercerita bertemu dan dijamu oleh pak kondektur. Saat itulah beliau muncul dan kuperkenalkan pada Ati dan Kunpi. Kami mengabadikan momen ini dengan berfoto bersama.

Sisa perjalanan dari Cirebon, kereta akan melalui jalur lintas Selatan. Aku dan Kacunk kembali ke gerbong bersama Ati dan Kunpi. Aku dan Kacunk bercerita ditraktir kopi oleh pak Suardi membuat mereka iri. Saat penjual kopi lewat, Ati dan Kunpi memesan coffemix dan segelas pop mie dengan minta ditraktir oleh aku dan Kacunk. Namun ada kebetulan yang aneh, seorang laki – laki yang duduk berhadapan dengan Kacunk membayari makan dan minuman Ati dan Kunpi. Mas yang satu itu memang seperti mencari pahala, karena setelah mentraktir kopi dia terus membelikan kami jajanan yang bahkan ada juga yang aku jadikan sebagai oleh – oleh ke Jakarta. Makasih banyak loh mas heheheee. Kami memutuskan untuk tidur sebisanya. Namun saat yang lain mampu tertidur pulas, aku masih terjaga dan sama sekali tidak bisa tidur. Aku hanya bisa memejamkan mata tanpa merasakan tidur yang sebenarnya. Mungkin ini efek kopi yang barusan aku minum bersama pak Suardi. Jadi, bagiku sangat tidak disarankan meminum kopi dalam perjalanan jauh malam hari.
Waktu subuh telah menjelang, kulihat tubuh temanku satu persatu menggeliat mencari – cari pegangan untuknya bisa bangun. Mereka terkaget melihatku masih terjaga tidak tidur sama sekali. Kacunk menawariku tiduran di kursinya yang kebetulan orang disampingnya entah sedang ada dimana. Aku mencoba terpejam, namun hawa Subuh dan kelakar orang – orang yang baru saja terjaga dari tidur membuatku urung untuk tidur. Aku lebih ingin melihat pemandangan pagi di darerah Jawa Tengah yang menurut Kacunk sangat indah. Dan ya, mataku terbuka lebar – lebar menyaksikan keindahan alam karunia Sang Pencipta. Sederetan sawah – sawah nun hijau menyibakkan kabut pagi seolah menyapaku. Sekumpulan anak – anak berseragam putih biru berbaris mengendarai sepeda. Angkot – angkot yang terlampau penuh sesak oleh pelajar yang menumpang. Dan deretan bukit yang tersibak oleh kabut tipis yang memancarkan semburat indah dilangit. Aku bersyukur masih diberi nikmat sehat pada semua panca inderaku untuk menjadi saksi keindahan pagi alam Jawa Tengah ini.


Share